Sejak aku menikah dengan pasangan yang ternyata bukan sosok yang kuharapkan, mimpi-mimpiku seolah ikut terkubur perlahan. Semua cita-cita yang dulu kupegang erat—melanjutkan pendidikan, menjadi perempuan yang berilmu, mendidik anak-anak agar tumbuh menjadi manusia yang lebih baik—sekarang terasa jauh, nyaris tak terjangkau.
Bukan karena aku menyerah. Tapi karena tidak ada dukungan. Tidak ada dorongan. Tidak ada yang memeluk bahuku sambil berkata, “Kamu bisa, aku akan ada di sini mendukungmu.”
Hidupku kini seperti kabur, tanpa tujuan yang jelas. Samar. Abu-abu. Sementara dia… hidupnya tetap berjalan. Masih punya teman. Masih bisa tertawa di kantor. Masih bisa nongkrong, meski sebentar. Dia bisa menikmati dunianya sendiri tanpa gangguan.
Aku? Teman mulai berkurang, bahkan sering kali tidak ada sama sekali. Sejak menikah, aku jarang sekali diajak pergi ke tempat indah. Pacaran pun seperti kewajiban yang harus aku rencanakan sendiri—aku yang harus bilang mau ke mana, harus bagaimana. Dia tak punya inisiatif. Tak punya rencana. Bahkan sebagai kepala keluarga, arahnya pun tak jelas.
Capek. Lelah yang tak cuma terasa di badan, tapi juga di hati. Ya, dia masih mau membantu mengurus anak. Tapi itu memang kewajibannya. Anak-anak itu juga miliknya.
Namun di balik itu, ada perbedaan besar yang sulit kujelaskan. Dia masih punya ruang untuk dirinya sendiri. Aku? Me time bahkan jadi kemewahan yang tak pernah benar-benar kumiliki.
Kadang aku merasa hidupku hanya berputar di satu lingkaran yang sama—rumah, anak, dapur, dan semua rutinitas yang tak pernah berhenti. Sementara di dalam hati, ada aku yang dulu penuh mimpi, kini terdiam di sudut, menunggu untuk kembali ditemukan.
Aku rindu duduk sendirian di kafe, menatap jendela, sambil minum kopi atau camilan kesukaanku. Aku rindu berjalan tanpa tujuan di sore hari, sekadar merasakan angin menyentuh wajahku. Aku rindu bercakap-cakap dengan orang yang mengerti, tanpa harus mengukur kata agar tidak menyinggung siapa pun.
Dan yang paling aku rindukan… adalah diriku sendiri.
Terkadang, aku bertanya dalam hati:
Sampai kapan aku akan membiarkan diriku hilang?
Sampai kapan aku akan bertahan dalam lingkaran ini, menunggu perubahan yang tak kunjung datang?
Mungkin jawabannya tidak akan pernah datang dari dia.
Mungkin jawabannya… ada padaku.
0 komentar:
Posting Komentar