“Tuhan, dosaku sebesar apa, sampai hidupku seberat ini?”
Aku adalah ibu rumah tangga. Kalimat sederhana, tapi ternyata menyimpan pertempuran yang begitu panjang. Orang bilang, “Enak ya di rumah aja, bisa santai.” Padahal kenyataannya: aku tidak punya waktu untuk diriku sendiri, tidak punya ruang untuk sakit, marah, apalagi hancur. Karena setiap hari, selalu ada yang harus kubereskan—anak yang menangis, dapur yang harus jalan, dan hati yang harus tetap kuat walau retak.
Aku pernah bekerja. Tapi justru di masa itu, aku dihantui rasa bersalah karena meninggalkan anak. Gajiku habis untuk orang yang ngasuh anakku. Waktu bersama anak juga dipotong oleh jam kerja. Bahkan ketika lelah luar biasa, aku masih harus disalahkan karena dianggap tidak membantu keuangan suami. Padahal aku sudah menyumbang waktu, tenaga, bahkan diriku—seluruhnya. Tapi semua itu tetap dianggap tidak cukup.
Lalu aku memilih berhenti bekerja dan fokus pada rumah serta anak-anak. Kupikir ini jalan damai. Tapi nyatanya? Aku tetap disalahkan.
“Salah menikah. Salah punya anak. Salah tidak bantu keluarga.”
Semuanya salah, seolah aku tidak pernah benar. Tidak pernah cukup. Tidak pernah berarti.
Tentang Suamiku
Aku pernah mencintainya sepenuh hati. Berharap kami bisa tumbuh bersama, saling menguatkan, saling menyembuhkan. Tapi harapan tinggal harapan. Yang kudapat justru luka demi luka: tidak ada keterbukaan, tidak ada kejujuran, tidak ada inisiatif mencintai tanpa disuruh, memberi tanpa diminta, tidak ada penghargaan, bahkan untuk pengorbanan kecilku.
Yang paling menyakitkan bukan hanya pengkhianatan. Tapi sikap “diam sampai ketahuan”—seolah kejujuran hanya muncul kalau sudah tak bisa disembunyikan lagi. Aku merasa bukan sebagai istri, tapi seperti pengemis cinta yang harus minta hak satu per satu. Rasanya seperti aku sendirian menjalani pernikahan ini.
Aku capek, sangat capek. Karena setiap kecewa padanya, aku tak bisa berkata-kata. Tapi tubuh dan hatiku meledak. Dan yang sering jadi korban adalah anak-anakku sendiri. Padahal mereka tak bersalah. Mereka hanya ingin ibunya yang hangat. Tapi yang mereka dapat, kadang adalah ibu yang lelah, marah, menangis, tanpa mereka tahu sebabnya.
Aku bertanya: Kenapa aku harus jadi ibu?
Aku mencintai anak-anakku. Tapi kadang aku bertanya, kenapa aku harus menjadi ibu di saat aku sendiri sedang hilang arah? Aku merasa belum bisa membahagiakan orang tuaku, belum bisa membimbing adik-adikku. Lalu kini aku dituntut jadi ibu sempurna? Istri yang kuat? Anak yang bisa diandalkan? Semua itu terlalu banyak, terlalu berat. Dan tidak ada satu pun tempat aku bisa meminta tolong dengan lapang.
Orang-orang hanya bisa menuntut. Tapi tidak ada yang benar-benar menanyakan:
“Kamu gimana? Kamu baik-baik aja nggak?”
Padahal jawabannya jelas: tidak. Aku sedang tidak baik-baik saja. Aku sedang mencoba bertahan sambil berdarah. Aku menangis sendirian. Aku menyimpan semuanya sendiri. Sampai akhirnya aku merasa: mungkin aku sudah kehilangan diriku.
Tapi lalu aku ingat sesuatu.
Aku ingat anak-anakku. Wajah kecil mereka yang tak tahu apa-apa. Tawa mereka saat melihatku tersenyum. Pelukan mereka saat aku lelah, yang seperti berkata: “Mama, aku masih butuh kamu.”
Dari merekalah aku tahu: aku masih dibutuhkan. Aku belum selesai. Aku masih punya alasan untuk bangkit. Tapi aku sadar, aku tidak bisa terus begini. Aku butuh ruang untuk sembuh. Untuk mengobati diriku, agar aku bisa hadir utuh untuk mereka. Aku harus memulihkan diriku dulu, sebelum luka ini menular ke mereka.
Dan tentang pernikahanku...
Mungkin suatu hari aku akan berani berkata, “cukup.”
Mungkin nanti, saat waktunya tepat, aku akan memilih jalan yang bisa menyelamatkanku dan anak-anakku. Aku tahu, anak butuh keluarga yang utuh—tapi lebih dari itu, mereka butuh ibu yang tenang, sehat, dan tidak hancur pelan-pelan.
---
Untuk kamu yang membaca ini...
Kalau kamu juga sedang lelah, sedang merasa tidak berguna, sedang ingin menyerah—kamu tidak sendiri. Aku menulis ini bukan karena aku sudah kuat, tapi karena aku sedang mencoba kuat. Kita bisa pulih. Kita boleh berhenti sejenak. Kita boleh memilih diri sendiri, dan itu bukan dosa.
Dan kalau kamu pernah bertanya seperti aku:
“Tuhan, dosaku sebesar apa?”
Mungkin jawabannya bukan karena kita berdosa. Tapi karena Tuhan tahu, kita kuat—bahkan saat kita merasa tidak sanggup. Tapi ingat, kuat bukan berarti harus terus-terusan memikul. Kuat juga berarti tahu kapan harus minta tolong.
Hari ini, aku tidak punya solusi besar. Tapi aku punya satu tekad kecil:
Aku ingin sembuh. Demi diriku. Demi anak-anakku.
Dan aku percaya, pelan-pelan, aku akan menemukan diriku lagi.
Terima kasih, diriku, karena sudah bertahan sejauh ini.
Terima kasih, anak-anakku, karena jadi alasanku untuk tidak pergi.
Terima kasih, semesta, karena masih memberiku kesempatan untuk bernapas hari ini.
---
—Dhevia Anggareni
Ibu rumah tangga. Perempuan yang sedang belajar pulih. Perempuan yang tidak ingin menyerah.
0 komentar:
Posting Komentar